Kapan berbicara dan kapan mendengar
Allah SWT menciptakan dua telinga dan Satu mulut. Artinya, kita
harus lebih banyak mendengar daripada banyak bicara. Mendengar harus dua kali
lebih banyak, agar ucapan kita jadi lebih bermakna. Semoga Allah Yang Maha
Mendengar menggolongkan kita sebagai orang-orang yang merasa didengar oleh-Nya.
Saudaraku, merasa didengar oleh Allah SWT adalah keutamaan yang akan
menghalangi kita dari maksiat lisan. Kata-kata kita sering menjadi dosa karena
kita tidak merasa didengar oleh Allah SWT.
As-Sami’ adalah salah satu asma Allah yang berarti mendengar. As-Sami’ terambil
dari kata sami’a yang artinya mendengar. Menangkap suara atau
bunyi-bunyi dapat diartikan pula mengindahkan atau mengabulkan. Jadi, Allah
Yang Maha Mendengar segala suara walaupun semut hitam yang merangkak di batu
hitam di tengah belantara yang kelam. Logikanya jelas, bagaimana Allah SWT
tidak mendengar sedangkan Ia adalah penciptanya semut, yang dengan izin-Nya ia
merangkak di kegelapan malam.
Allah SWT pasti mendengar apapun yang disuarakan oleh
mahluk-mahluk-Nya, dalam bisikan yang paling halus sekalipun, dan dalam hiruk
pikuk kegaduhan. Allah pun Maha Mendengar orang yang hatinya selalu berzikir,
walaupun di tempat tersembunyi atau dipangkalan pesawat terbang yang sangat
bising.
Hikmah apa yang bisa kita dapatkan dari sifat As-Sami’?
Hikmahnya, kita harus berhati-hati dalam menjaga lisan. Jangan bicara kecuali
benar dan bermanfaat, karena setiap patah kata akan didengar oleh Allah SWT dan
harus dipertanggung jawabkan di kahirat kelak. Karena itu, kita harus selalu
berpikir dan menimbang sebelum bicara. Bertanyalah selalu, pantaskah saya
berbicara seperti ini? Benarkah perkataan ini kalau saya ucapkan? Karena ada
perkataan yang benar tapi tidak tepat situasi dan kondisinya. Islam
mengistilahkan kebenaran dalam perkataan sebagai Qaulan Sadiida. Apa
syaratnya?
Pertama, harus benar. Benar disini mengandung arti bahwa perkataan yang
kita ucapkan harus sesuai dengan realitas yang terjadi, tidak menambah-nambah
atau mengurangkan. Abu Mas’ud ra berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, ”Biasakanlah
berkata benar, karena benar itu menuntun kepada kebaikan dan kebaikan itu
menuntun ke surga. Hendaklah seseorang itu selalu berkata benar dan berusaha
supaya tetap benar, sehingga dicatat di sisi Allah sebagai orang as-siddiq
(amat benar)” (HR Bukhari Muslim).
Kedua, setiap kakta itu ada tempat yang tepat dan setiap tempat itu ada
kata yang tepat. Disini tepat, tetapi ditempat lain belum tentu tepat. Dengan
orang tua tepat, tapi dengan anak belum tentu tepat. Dengan guru tepat, tapi dengan
murid belum tentu tepat. Jadi, dalam berbicara itu tidak cukup benar saja, tapi
harus pandai pula membaca situasi dan objek yang kita ajak berbicara.
Ketiga, kita harus bisa mengukur apakah kata-kata kita itu melukai atau
tidak, karena sensifitas orang berbeda-beda.
Keempat, pastikan perkataan itu bermanfaat. Dari Abu Hurairah ra bahwa
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir,
hendaklah ia berkata baik atau diam, barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari
Akhir, hendaklah ia menghormati tetangganya, barangsiapa beriman kepada Allah
dan Hari Akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya” (HR. Bukhari Muslim).
Hikmah kedua adalah kita harus belajar mendengarkan. Mendengar
belum tentu mendengarkan. Mendengar hanya sekedar menyerap suara lewat telinga.
Sedangkan mendengarkan tidak sekedar menyerap suara, tapi juga menyimak dan
mengolah apa-apa yang kita dengar. Karena itu, dengan mendengarkan kita akan
faham, dan dengan faham kita bisa berubah.
Ada orang yang mendengar tapi konsentrasinya pecah, itu pun tidak
bisa dikatakan mendengarkan. Mendengarkan erat kaitannya dengan keterampilan
untuk fokus. Cahaya matahari yang difokuskan dengan suryakanta bisa membakar
kertas dan bahan lainnya. Kalau kita konsentrasi, maka informasi dan ilmu akan fokus,
hingga semangat kita akan menyala. Kalau semangat sudah menyala, tidak aka nada
yang bisa menghalangi untuk sukses. Karenanya, dalam mendengar informasi harus fokus
dan tuntas, jangan setengah-setengah. Dari itu, kita harus belajar mendengarkan,
menyimak, dan memfokuskan diri untuk memahami. Dengan pemahaman yang benar
Insya Allah kita bisa bertindak benar dan proporsional. Dari asma Allah ini,
kita bisa menyimpulkan bahwa kita harus lebih banyak mendengar daripada banyak
bicara.
Mendengar harus dua kali lebih banyak, supaya sekali berkata
maknanya bisa lebih besar. Karena itulah Allah SWT menciptakan dua telinga dan
satu mulut. Hisap informasi sebanyak mungkin, lalu olah, dan keluarkan
kata-kata yang serat makna. Banyak bicara akan banyak mengeluarkan kata-kata,
hingga peluang tergelincir akan semakin besar. Bila ini terjadi maka peluang
untuk celaka jadi semakin besar. Benarlah apa yang disabdakan Rasulullah SAW, “Barangsiapa
banayk bicara, niscaya banyak kesalahannya, barangsiapa banyak kesalahannya,
niscaya akan banyak dosanya, dan barangsiapa banyak dosanya, maka neraka
menjadi lebih utama baginya.” (HR. Abu Nu’aim).