Pernyataan Para Imam Untuk Mengikuti Sunnah dan Meninggalkan yang Menyalahi Sunnah

Semoga kutipan ini dapat menjadi pelajaran dan peringatan bagi mereka yng taklid kepada para imam atau kepada yang lainnya dengan cara membabi buta dan berpegang pada madzhab dan pendapat mereka seolah-olah hal itu seperti sebuah firman yag turun dari langit. Allah SWT berfirman,
“Ikutilah oleh kalian apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian dan janganlah kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selain Dia. Sungguh sedikit sekali kamu ingat kepada-Nya (QS. Al-A’raf : 3)
Berikut ini saya paparkan pernyataan para Imam Madzhab :
1.   Abu Hanifah RA
Imam madzhab yang pertama adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit. Para muridnya telah meriwayatkan berbagai macam perkataan dan pernyataan beliau yang seluruhnya mengandung satu tujuan, yaitu kewajiban berpegang pada hadits Nabi SAW dan meninggalkan sikap membeo pendapat-pendapat pada imam bila bertentangan dengan hadits Nabi SAW. Ucapan beliau :
a.    “Jika suatu hadits shahih, itulah madzhabku. (Ibnu A’bidin dalam Kitab Al-Hasyiyah (I/63) dan Kitab Rasmul Mufti (I/4) dari kumpulan-kumpulan tulisan Ibnu Abidin. Juga oleh Syaikh Shalih Al-Filani dalam Kitab Iqazhu Al-Humam hlm 62 dan lain-lain)
b.    “Tidak halal bagi seseorang mengikuti perkataan kami bila ia tidak tahu dari mana kami mengambil sumbernya . (Ibnu Barr dalam Kitab Al-Intiqa fi Fadhail Ats Tsalasah Al-Aimmah Al-Fuqaha hlm 145, Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqqi’in (II/309), Ibnu ‘Abidin dalam Hasyiyah Al-Bahri Ar-Raiq (VI/293), dan Rasmu Al-Mufti hal 29 dan 32, Sya’rani dalam Al-Mizan (I/55) dengan riwayat kedua, sedang riwayat ketiga diriwayatkah Abbas Ad-Darawi dalam At-Tarikh, karya Ibnu Ma’in (VI/77/1) dengan sanad shahih dari Zufar)
Pada riwayat lain dikatakan bahwa beliau mengatakan :
“Orang yang tidak mengetahui dalilku, haram baginya menggunakan pendapatku untuk memberikan fatwa”. Pada riwayat lain ditambahkan : ”Kami hanyalah seorang manusia. Hari ini kami berpendapat demikian tetapi kami mencabutnya”
Pada riwayat lain lagi dikatakan : ”Wahai Ya’qub (Abu Yusuf), celakalah kamu! Janganlah kamu tulis semua yang kamu dengar dariku. Hari ini saya berpendapat demikian, tapi hari esok saya meninggalkannya. Besok saya berpendapat demikian, tapi hari berikutnya saya meninggalkannya.
c.     “Kalau saya mengemukakan suatu pendapat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW , tinggalkanlah pendapat itu” (Al-Filani dalam Kitab Al-Iqazh hlm 50, menisbatkannya kepada Imam Muhammad)

2.    Malik bin Anas
a.   “Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah, terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, ambillah, dan bila tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah” (Ibnu ‘Abdul Bar dan dari dia juga Ibnu Hizm dalam Kitabnya Ushul Al Ahkam (VI/149), begitu pula Al-Fulani hlm 72)
b.   “Siapapun perkataannya bisa ditolak dan bisa diterima, kecuali Nabi SAW sendiri”  (Dikalangan ulama mutahir hal ini popular dinisbatkan kepada Imam Malik dan dinyatakan shahihnya oleh Ibnu ‘Abdul Hadi dalm Kitabnya Irsyad As Salik (I/227)
c.   Ibnu Wahhab berkata, “saya pernah mendengar Malik menjawab pertanyaan orang tentang menyela-nyela jari kaki dalam wudhu, jawabnya :”hal itu bukan urusan manusia”. Ibnu Wahhab berkata: ”lalu saya tinggalkan beliau sampai orang-orang yang mengelilinginya tinggal sedikit, kemudian saya berkata kepadanya : “Kita mempunyai Hadits mengenai hal tersebut”. Dia bertanya  :”Bagaimana Hadits itu?” Saya jawab :’Laits bin Sa’ad, Ibnu Lahi’ah, Amr bin Harits, meriwayatkan kepada kami dan Yazid bin ‘Amr Al-Mu’afiri, dari Abi ‘Abdurrahman Al-Habali, dari Mustaurid bin Syaddad Al-Qurasyiyyi, ujarnya : Saya melihat Rasulullah SAW menggosokkan jari manisnya pada celah-celah jari-jari kakinya. “Malik menyahut :”hadits ini hasan, saya tidak mendengar ini sama sekali, kecuali kali ini. Kemudian dia lain waktu saya mendengar dia ditanya orang tentang hal yang sama, lalu beliau menyuruh orang itu untuk menyela-nyela jari-jari kakinya  (muqaddimah Kitab Al-Jarh Wa At-Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim hlm 31-32 dan diriwayatkan secara lengkap oleh Baihaqi dalam sunan-nya (I/81)

3.   Syafi’i
Riwayat-riwayat yang dinukil orang dari Imam Syafi’I dalam masalah ini lebih banyak dan lebih bagus dan para pengikutnya lebih banyak yang melaksanakan pesannya dan lebih beruntung. Beliau berpesan antara lain :
a.   “Setiap orang harus bermahdzhab kepada Rasulullah SAW dan mengikutinya. Apapun pendapat yang aku katakan atau sesuatu yang aku katakan itu berasal dari Rasulullah SAW tetapi ternyata berlawanan dengan pendapatku, apa yang disabdakan oleh Rasulullah itulah yang menjadi pendapatku” (HR. Hakim dengan sanad bersambung kepada Imam Syafi’I, seperti tersebut dalam Kitab Tarikh Damsyiq, karya Ibnu ‘Asakir (XV/1/3), I’lam Al-Muwaqqi’in (II/363-364), Al-Iqazh hal 100)
b.   “Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa orang yang secara jelas telah mengetahui suatu hadits dari rasulullah tidak halal meninggalkannya guna mengikuti pendapat seseorang” (Ibnul Qayyim (II/361), dan Al-Filani hal 68)
c.   “Bila kalian menemukan dalam kitabku seseuatu yang berlainan dengan Hadits, peganglah Hadits Rasulullah itu dan tinggalkanlah pendapatku itu” (Harawi dalam Kitab Dzamm Al-Kalam (III/47/1), Al-Khatib dalam Ihtijaj Bi Asy-Syafi’I (VIII/2)
d.   “Bila suatu Hadits itu shahih, itulah madzhabku” (Nawawi, dalam Al-Majmu)
e.   “Kalian lebih tahu tentang Hadits dan para perawinya daripada aku. Apabila suatu Hadits itu shahih, beri tahukanlah kepadaku biar dimanapun orangnya, apakah di Kuffah, Bashrah, atau Syam, sampai aku pergi menemuinya”
f.    “Bila suatu masalah ada haditsnya yang sah dari Rasulullah SAW menurut kalangan ahli hadits, tetapi pendapatku menyalahinya, pasti aku akan mencabutnya, baik selama aku hidup maupun setelah aku mati (Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (IX/107), Al-Harawi (47/1), Ibnul Qayyim dalam Al-I’lam (II/363) dan Al-Filani hlm 104)
g.   Bila kalian mengetahui aku mengatakan suatu pendapat yang ternyata menyalahi  hadits Nabi yang shahih, ketahuilah bahwa hal itu berarti pendapatku tidak berguna (Ibnu Abi Hatim dalam Adabu Asy-Syafi’I hlm 93)
h.   “setiap perkataanku bila berlainan dengan riwayat yang shahih dari Nabi SAW, hadits Nabi lebih utama dan kalian jangan bertaqlid kepadaku (Ibnu Hatim hlm 93, Abu Nu’aim dan Ibnu ‘Asakir (15/9/2) dengan sanad shahih
i.    “Setiap Hadits yang datang dari Nabi SAW berarti itulah pendapatku, sekalipun kalian tidak mendengarnya sendiri dari aku (Ibnu Hatim hlm 93-94)

4.   Ahmad bin hanbal
Ahmad bin Hanbal merupakan seorang imam yang paling banyak menghimpun hadits dan berpegang teguh padanya, sehingga beliau benci menjamah kitab-kitab yang memuat masalah furu’ dan ra’yu. Beliau menyatakan sebagai berikut :
a.   “Janganlah engkau taqlid kepadaku atau kepada Malik, Syafi’I , Auza’I, dan Tsauri, tetapi ambillah dari sumber mereka mengambil” (Al-Filani hlm 113 dan Ibnu Qayyim dalam Al-I’lam (II/302)
b.   “Pendapat Auza’I, Malik, dan Abu Hanifah adalah ra’yu (pikiran). Bagi saya semua ra’yu sama saja, tetapi yang menjadi hujjah agama adalah yang ada pada atsar (Hadits) (Ibnu Abdul Barr dalam Al-Jami’ (II/149)
c.   “Barangsiapa yang menolak Hadits Rasullah SAW, dia berada di jurang kehancuran (Ibnul Jauzi hlm 142)
Demikianlah pernyataan para imam dalam menyuruh orang untuk berpegang teguh pada hadits dan melarang mengikuti mereka tanpa sikap kritis. Pernyataan mereka itu sudah jelas tidak bisa dibantah dan diputarbalikkan lagi. Mereka mewajibkan berpegang pada semua hadits yang shahih sekalipun bertentangan dengan sebagian pendapat mereka tersebut dan sikap semacam itu tidak dikatakan menyalahi madzhab mereka dan keluar dari metode mereka, bahkan sikap itulah yang disebut mengikuti mereka dan berpegang pada tali yang kuat tiada akan putus. Akan tetapi, tidaklah demikian halnya bila seseorang meninggalkan hadits-hadits yang shahih karena dipandang menyalahi pendapat mereka. Bahkan orang yang berbuat demikian telah durhaka kepada meerka dan menyalahi pendapat-pendapat mereka yang telah dikemukakan diatas. Allah SWT berfirman :
“Demi Tuhanmu, mereka itu tidak dikatakan beriman sehingga mereka menjadikan kami sebagai hakim dalam menyelesaikan sengketa diantara mereka, kemudian mereka tidak berkeberatan terhadap keputusanmu dan menerimanya dengan sepenuh ketulusan hati (QS. An-Nisa :65 )

Allah SWT juga berfirman :
“Orang-orang yang menyalahi perintahnya hendaklah takut fitnah akan menimpa mereka atau adzab yang pedih akan menimpa  mereka 9QS. An-Nur :63)
Sumber : Sifat Shalat Nabi oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Pernyataan para imam untuk mengikuti sunnah

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel