Mengenal Imam Bukhari
Muhammad Ibnu Abi Hatim berkata, “Saya terilham/menghafal hadits
ketika masih dalam asuhan belajar.” Lalu saya bertanya, “Umur berapakah anda
pada waktu itu?” Beliau menjawab, “Sepuluh tahun atau kurang.” (Riwayat
al-Farbari dari Muhammad Ibnu Abi Hatim, seorang juru tulis al-Imam
al-Bukhari).
Suatu ketika al-Imam al-Bukhari tiba di Baghdad. Kehadiran beliau
didengar oleh para ahlul hadits negeri itu. Maka, berkumpullah mereka untuk
menguji kehebatan hafalan beliau tentang hadits. Syahdan para ulama tersebut
sengaja mengumpulkan seratus buah hadits. Susunan, urutan dan letak matan serta
sanad seratus hadits tersebut sengaja dibolak-balik. Matan dari sebuah sanad
diletakkan untuk sanad lain, sementara suatu sanad dari sebuah matan diletakkan
untuk matan lain dan begitulah seterusnya. Seratus buah hadits itu dibagikan
kepada sepuluh orang tim penguji, hingga masing-masing mendapat bagian sepuluh
buah hadits.
Maka tibalah ketetapan hari yang telah disepakati.
Berbondong-bondonglah para ulama dan tim penguji itu, serta para ulama dari
Khurasan dan negeri-negeri lain serta penduduk Baghdad menuju tempat yang telah
ditentukan.
Ketika suasana majlis telah menjadi tenang, salah seorang dari
kesepuluh tim penguji mulai memberikan ujiannya. Beliau membacakan sebuah
hadits yang telah dibolak-balik matan dan sanadnya kepada al-Imam al-Bukhari.
Ketika ditanyakan kepada beliau, al Imam al-Bukhari menjawab, “Saya tidak kenal
hadits itu.” Demikian seterusnya satu persatu dari kesepuluh hadits penguji
pertama itu dibacakan, dan al-Imam al-Bukhari selalu menjawab, “Saya tidak
kenal hadits itu.”
Beberapa ulama yang hadir saling berpandangan seraya bergumam,
“Orang ini berarti faham.” Akan tetapi ada di kalangan mereka yang tidak
mengerti, hingga menyimpulkan bahwa al-Imam al-Bukhari terbatas pengetahuannya
dan lemah hafalannya.
Orang kedua maju. Beliau juga melontarkan sebuah hadits yang telah
dibolak-balik sanad dan matannya, yang kemudian dijawab pula, “Saya tidak kenal
hadits itu”. Begitulah, orang kedua ini pun membacakan sepuluh hadits yang
menjadi bagiannya, dan seluruhnya dijawab beliau, “Saya tidak kenal hadist
itu.” Begitulah selanjutnya orang ketiga, keempat, kelima hingga sampai orang
kesepuluh, semuanya membawakan masing-masing sepuluh hadits yang telah dibolak-balik
matan dan sanadnya. Dan al-Imam al-Bukhari memberikan jawaban tidak lebih
daripada kata-kata, “Saya tidak kenal hadits itu.”
Setelah semuanya selesai menguji, beliau kemudian menghadap orang
pertama seraya berkata, “Hadits yang pertama anda katakan begini, padahal yang
benar adalah begini, lalu hadits anda yang kedua anda katakan begini padahal
yang benar seperti ini. Begitulah seterusnya hingga hadits kesepuluh disebutkan
oleh beliau kesalahan letak sanad serta matannya, dan kemudian dibetulkannya
kesalahan itu hingga semua sanad dan matannya menjadi benar kedudukannya.
Demikian pula seterusnya yang dilakukan oleh al-Bukhari kepada para
penguji berikutnya hingga sampai kepada penguji kesepuluh. Maka, orang-orang
pun lantas mengakui serta menyatakan kehebatan hafalan serta kelebihan beliau.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengatakan, “Yang hebat bukanlah kemampuan
al-Bukhari dalam mengembalikan kedudukan hadits-hadits yang salah, sebab beliau
memang hafal, tetapi yang hebat justru hafalnya beliau terhadap kesalahan yang
dilakukan oleh para penguji tersebut secara berurutan satu persatu hanya dengan
sekali mendengar.”
Siapakah al-Imam al-Bukhari
Beliau adalah Abu Abdillah, bernama Muhammad bin Ismail bin Ibrahim
bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ja’fi. Kakek moyang Bardizbah (begitulah cara
pengucapannya menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalani) adalah orang asli Persia.
Bardizbah, menurut penduduk Bukhara berarti petani. Sedangkan kakek buyutnya,
al-Mughirah bin Bardizbah, masuk Islaam di tangan al-Yaman al-Ja’fi ketika
beliau datang di Bukhara. Selanjutnya nama al-Mughirah dinisbatkan
(disandarkan) kepada al-Ja’fi sebagai tanda wala’ kepadanya, yakni dalam rangka
mempraktekkan pendapat yang mengatakan, bahwa seseorang yang masuk Islam, maka
wala’nya kepada orang yang mengislamkannya.
Adapun mengenai kakeknya, Ibrahim bin al-Mughirah, Ibnu Hajar
al-‘Asqalani mengatakan, “Kami tidak mengetahui (menemukan) sedikit pun tentang
kabar beritanya.” Sedangkan tentang ayahnya, Ismail bin Ibrahim, Ibnu Hibban telah
menuliskan tarjamah (biografi)-nya dalam kitabnya ats-Tsiqat (orang-orang yang
tsiqah/terpercaya) dan beliau mengatakan, “Ismail bin Ibrahim, ayahnya
al-Bukhari, mengambil riwayat (hadits) dari Hammad bin Zaid dan Malik. Dan
riwayat Ismail diambil oleh ulama-ulama Irak.” Al-Hafizh Ibnu Hajar
al-‘Asqalani juga telah menyebutkan riwayat hidup ismail ini di dalam Tahdzibut
Tahdzib. Ismail bin Ibrahim wafat ketika Muhammad (al-Bukhari) masih kecil.
Kelahiran Dan Wafatnya al-Imam al-Bukhari
Dilahirkan di Bukhara, sesudah shalat Jum’at pada tanggal 13 Syawal
194 H. Beliau dibesarkan dalam suasana rumah tangga yang ilmiah, tenang, suci
dan bersih dari barang-barang haram. Ayahnya, Ismail bin Ibrahim, ketika wafat
seperti yang diceritakan oleh Muhammad bin Abi Hatim, juru tulis al-Bukhari,
bahwa aku pernah mendengar Muhammad bin Kharasy mengatakan, “Aku mendengar
bahwa Ahid Hafs berkata, “Aku masuk menjenguk Ismail, bapaknya Abu Abdillah
(al-Bukhari) ketika beliau menjelang wafat, beliau berkata, “Aku tidak mengenal
dari hartaku barang satu dirham pun yang haram dan tidak pula satu dirham pun
yang sybhat.”
Al-Bukhari wafat di Khartank sebuah desa di negeri Samarkhand,
malam Sabtu sesudah shalat Isya’, bertepatan dengan malam Iedul fitri, tahun
256 H dan dikuburkan pada hari Iedul Fitri sesudah shalat Zhuhur. Beliau wafat
dalam usia 62 tahun kurang 13 hari dengan meninggalkan ilmu yang bermanfaat
bagi seluruh kaum muslimin, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam
al-Bidayah wan Nihayah.
Pertumbuhan Dan Perkembangannya al-Imam al-Bukhari
Ketika ayahnya wafat, beliau masih kecil, sehingga beliau besar dan
dibesarkan dalam asuhan ibunya. Beliau mencari ilmu ketika masih kecil dan
pernah menceritakan tentang dirinya seperti disebutkan oleh al-Farbari dari
Muhammad bin Abi Hatim. Muhammad bin Abi Hatim berkata, “Aku pernah mendengar
al-Bukhari mengatakan, “Aku diilhami untuk menghafal hadits ketika masih dalam
asuhan mencari ilmu.” Lalu aku bertanya, “Berapa umur anda pada waktu itu?”
Beliau menjawab, “Sepuluh tahun atau kurang… dan seterusnya hingga perkataan
beliau, “Ketika aku menginjak umur enam belas tahun, aku telah hafal
kitab-kitab karya Ibnul Mubarak dan Wakil. Dan aku pun tahu pernyataan mereka
tentang Ash-hab (Ahlu) ra’yu”. Beliau berkata lagi, “Kemudian aku berangkat
haji bersama ibuku dan saudaraku, setelah menginjak usia delapan belas tahun,
aku telah menyusun kitab tentang sahabat dan tabi’in. Kemudian menyusun kitab
tarikh di Madinah di samping kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
malam terang bulan.” Beliau melanjutkan perkataannya, “Dan setiap kali ada nama
dalam at-Tarikh tersebut, pasti aku mempunyai kisah tersendiri tentangnya,
tetapi aku tidak menyukai jika kitabku terlalu panjang.”
Semenjak kecil beliau sibuk menggali ilmu dan mendengarkan hadits
dari berbagai negeri, seperti di negerinya sendiri. Dan beliau telah beberapa
kali mengunjungi Baghdad, hingga penduduk di sana mengakui kelebihannya dan
penguasaannya terhadap ilmu riwayah dan dirayah.
Begitulah, singkatnya beliau telah mengunjungi berbagai kota di
Irak dalam rangka mencari ilmu hadits dari tokoh-tokoh negeri tersebut,
misalnya Bashrah, Balkh, Kufah dan lain-lain. Beliau telah mendengarkan dan
menggali hadits dari sejumlah banyak tokoh pembawa hadits. Diriwayatkan oleh
Muhammad bin Abi Hatim, bahwasanya beliau berkata, “Aku tidak pernah menulis
melainkan dari orang-orang yang mengatakan bahwa al-Iman adalah ucapan dan
tindakan.”
Jumlah Hadits Yang Dihafal
Muhammad bin Hamdawaih mengatakan, “Aku mendengar al-Bukhari
berkata, bahwa aku hafal seratus ribu hadits shahih dan dua ratus ribu hadits
tidak shahih.”
Kitab-Kitab Yang Disusun
Yang paling pokok adalah kitab al-Jamiush shahih (Shahihul Bukhari)
yaitu kitab hadits tershahih diantara kitab hadits lainnya. Selain itu beliau
menyusun juga ktiab al-Adabul Mufrad, Raf’ul Yadain fish Shalah, al-Qira’ah
khalfal Iman, Birrul Walidain, at-Tarikh ash-Shagir, Khalqu Af’aalil ‘Ibaad,
adl-Dlu’afa (hadits-hadits lemah), al-Jaami’ al-Kabir, al-Musnad al-Kabir,
at-Tafsir al-Kabir, Kitabul Asyribah, Kitabul Hibab, Asaami ash-Shahabah
(Nama-nama para shahabat) dan lain sebagainya.
Contoh Kekaguman Orang Terhadap Al-Bukhari
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah, merupakan barometer bagi
guru-gurunya dan manusia yang tahu dan hidup pada zamannya maupun sesudahnya.
al-Imam al-Hafizh adz-Dzahabi dan al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani telah
menyebutkan secara khusus tentang pujian dan jasa-jasa beliau dalam kitabnya
masing-masing. Adz-Dzahabi dalam Tadzkiratul huffaazh dan Ibnu Hajar dalam
Tahdzibut Tahdzib.
Berikut ini beberapa contoh pujian dan kekaguman mereka. Muhammad
bin Abi Hatim mengatakan, bahwa aku mendengar Yahya bin Ja’far al-Baikundi
berkata, “Seandainya aku mampu menambahkan umur Muhammad bin Ismail
(al-Bukhari) dengan umurku, niscaya aku lakukan sebab kematianku hanyalah
kematian seorang sedangkan kematiannya berarti lenyapnya ilmu.”
Raja’ bin Raja’ mengatakan, “Dia, yakni al-Bukhari, merupakan satu
ayat di antara ayat-ayat Allah yang berjalan di atas permukaan bumi.”
Abu Abdullah al-Hakim dalam Tarikh Naisabur berkata, “Dia adalah
Imam Ahlul hadits, tidak ada seorang pun di antara Ahlul Naql yang
mengingkarinya.”
Shahihul Jami’ Atau Shahih Bukhari
Seluruh hadits yang termuat di dalamnya adalah hadits-hadits shahih
yang telah tetap dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan semua
Mu’allaqaat dalam Shahih al-Bukhari dinyatakan shahih oleh para ulama Ahlul
hadits. Adapun contoh pernyataan ulama tentang Shahih al-Bukhari seperti
dikatakan al-Hafizh Ibnu Katsir dalam al-Bidaayah wan Nihaayah, “Para ulama
telah bersepakat menerimanya (yakni Shahihul Bukhari) dan menerima keshahihan
apa-apa yang ada di dalamnya, demikian pula seluruh ahlul Islam.”
Jadi di samping Shahih Muslim, Shahih al-Bukhari adalah kitab
tershahih nomor dua setelah al-Qur’an sebagaimana disebutkan dan disepakati
oleh para ulama, di antaranya oleh as-Subakti.
Terusirnya Imam Al-Bukhari Dari Bukhara
Ghonjar mengatakan dalam kitab Tarikhnya, “Aku mendengar Ahmad bin
Muhammad bin Umar berkata, “Aku mendengar Bakar bin Munir mengatakan, “Amir
Khalid bin Ahmad Adz-Dzuhail, amir penguasa Bukhara, mengirim utusan kepada
Muhammad bin Ismail, yang isinya, “Bawalah padaku kitab Jaami’ush Shahih dan
at-Tarikh supaya aku bisa mendengar dari kamu.” Maka, berkatalah al-Bukhari
kepada utusan tersebut, “Katakanlah kepadanya bahwa sesungguhnya aku tidak akan
merendahkan ilmu dan aku tidak akan membawa ilmuku itu ke hadapan pintu para
sultan. Apabila dia butuh (jika ilmu itu dikehendaki), maka hendaknya dia
datang kepadaku di masjidku atau di rumahku. Kalau hal ini tidak menyenangkan
wahai sultan, maka laranglah aku untuk mengadakan majlis ilmu, supaya pada hari
kiamat aku punya alasan di hadapan Allah bahwa aku tidak menyembunyikan ilmu.”
Ghonjar mengatakan, “Inilah yang menyebabkan terjadinya krisis di antara
keduanya.”
Al-Hakim berkata, “Aku mendengar Muhammad bin al-‘Abbas adh-Dhobby
mengatakan, “Aku mendengar Abu Bakar bin Abu Amr berkata, “Perginya Abu
Abdillah al-Bukhari dari negeri Bukhara disebabkan Khalid bin Ahmad Khalifah
bin Thahir meminta beliau untuk hadir di rumahnya supaya membacakan kitab
at-Tarikh dan al-Jaami’ush Shahih kepada anak-anaknya, tapi beliau menolak.
Beliau katakan, “Aku tidak mempunyai waktu jika hanya orang-orang khusus yang
mendengarkannya (mendengarkan ilmuku, pen). Maka Khalid bin Ahmad meminta
tolong kepada Harits bin Abi al-Warqa` dan lainnya dari penduduk Bukhara untuk
bicara mempermasalahkan madzhabnya. Akhirnya Khalid bin Ahmad mengusir beliau
dari Bukhara.
Demikianlah sekelumit tentang Imam Bukhari, beliau juga pernah
difitnah sebagai orang yang mengatakan, bahwa bacaanku terhadap al-Qur’an
adalah makhluk. Padahal beliau tidak mengatakan demikian dan bahkan secara
tegas beliau membantah bahwa orang yang membawa berita tersebut adalah
pendusta. Beliau bahkan mengatakan, “Bahwa al-Qur’an adalah kalamullah bukan
makhluk, sedangkan perbuatan-perbuatan hamba adalah makhluk.” (lihat Hadyu
as-Sari Muqadimah Fathul Bari bagian akhir halaman 490-491). Wallahu a’lam.
(SUMBER: Majalah as-Sunnah, no.02/Th.I, Jumada Tsani-Rajab 1413
H/Desember 1992 M, diterjemahkan dan disusun oleh Ahmas Faiz dengan sedikit
perubahan)