Akal dan Hawa Nafsu
Allah Swt berfirman:
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya (hukum-hukumNya) supaya kalian memahaminya” (QS. Al Baqarah 242)
يَادَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
“…maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS. Al Shaad 26)
Ada kesalahpahaman yang berkembang di masyarakat kaum muslimin, yakni menempatkan masalah akal pada tempat yang seharusnya ditempati oleh hawa nafsu. Sebagai contoh, ketika sebagian orang (ulama?) mengeluarkan fatwa yang membolehkan riba dengan dalil-dalil tertentu, maka ada orang yang menegur sang pemberi fatwa (mufti) itu dengan mengatakan, “Dalil yang anda gunakan itu bukan dari dalil syara’, tetapi dari akal”. Teguran tersebut kurang tepat. Sebab sang mufti itu tidak membawa dalil baik dari syara’ maupun dari akal, justru dia membawa dalil dari hawa nafsunya! Sebab orang yang berakal dan berbicara atas nama akan menolak sistem riba. Sebagaimana Aristoteles menyatakan bahwa uang itu tidak bisa bertelor!
Fungsi Akal
Banyak sekali ayat-ayat dalam Al Qur’an yang menebut kata-kata seputar akal atau penggunaanya, yaitu berfikir. Misalnya yang hadir dalam bentuk afala ta’qiluun (apakah kamu tdak mengerti) yang berulang sebanyak 13 kali. Atau dalam ungkapan “la’alakum ta’qiluun” (agar kalian memahaminya) berulang sebanyak 8 kali. Atau dalam ungkapan liqaumi ya’qiluun” (bagi kaum yang berfikir) sebanyak 8 kali. Juga dalam ungkapan “liqaumi yatafakkaruun” (bagi kaum yang memikirkan) yang berulang sebanyak 7 kali. Semua ungkapan tentang akal dalam ayat-ayat tersebut berkonotasi positif.
Kita tahu bahwa akal merupakan karunia Allah kepada manusia yang membedakan dan melebihkannya dari seluruh makhluk yang lain. Dengan akal itulah Allah memuliakan anak cucu Adam As., ini atas kebanyakan ciptaanNya. Akal merupakan alat manusia untuk mentafakuri alam sehingga ia mendapat petunjuk untuk beriman kepada Allah dan RasulNya. Akal pulalah yang dipakai manusia sebagai alat untuk menggali ilmu-ilmu/sains eksperimental dan rahasia-rahasia alam untuk dimanfaatkan buat kepentingan manusia.
Dalam masalah-masalah diniyah (agama) akal berfungsi sebagai :
- Alat untuk memahami fakta (manath) dimana hukum syara’ diturunkan terhadapnya;
- Alat untuk memahami nash-nash syar’I (Kitab dan Sunnah) sekaligus menggali darinya hukum-hukum syara’.
Dalam poin ini akal tak melampaui batas kemampuannya. Ia tak mungkin mengubah fungsinya sendiri, yakni dari memahami nash-nash syara’ dan mengikatkan diri kepadanya, menjadi penilai dari nash-nash syara’ yang kemudian mengubah dan menggantinya. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh akal, sebab ia telah memahami nash-nash syara’ itu wahyu dari Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana yang tak mungkin terselip kebathilan. Akal menyadari bahwa dirinya lemah, penuh kekurangan dan bisa berbuat salah. Jika akal bertentangan dengan wahyu, dia menyadari bahwa wahyulah yang benar dan akallah yang salah, sehingga ia mengoreksi diri dan menundukkan diri dari wahyu. Ia pun menjadi tenteram dengannya. Jika anda melihat manusia yang merasa lebih tinggi dari wahyu dan menakwilkannya, mengoreksinya, lalu mengubahnya, ketahuilah bahwa yang berfungsi dalam diri orang tersebut pada waktu itu bukanlah akalnya melainkan hawa nafsunya.
Akal Tidak Ma’shum
Sekalipun akal cenderung kepada kebenaran, bukan berarti akal itu ma’shum, terbebas dari kesalahan. Justru ia bisa keliru dan salah. Akal terkadang berbuat salah sekalipun aktivitasnya terbatas di wilayahnya dan batas-batas jangkauannya. Oleh karena itu, orang yang berakal membutuhkan saran dan pendapat dari orang lain (yang berakal pula). Dan kalau nyata kebenaran (dari yang lain) ia mesti kembali kepadanya. Rasulullah Saw bersabda : “Tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah”
Hawa Nafsu Cenderung kepada Keburukan
Tidak terdapat kata ‘al Hawa’ dalam Al Qur’an melainkan dalam konotasi negatif. Sorang muslim tidak sempurna imannya, kecuali ia menundukkan hawa nafsunya -yang cenderung negatif itu- dan mengikatnya dengan syari’at Allah Swt. Rasulullah Saw bersabda :
“tidak beriman salah seorang dari kalian, hingga ia mengikutkan (menundukkan) hawa nafsunya dengan (Islam) yang aku bawa” (HR. Imam An Nawawi dalam Kitab Al Arba’in An Nawawiyyah)
Dalam Al Qur’an terdapat kata ‘nafsu’ yang berarti ‘hawa’ atau ‘hawa nafsu’, seperti :
وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ
“Karena sesunguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan”. (QS. Yusuf 54)
Juga dalam firman-Nya :
فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah”. (QS. Al Maidah 30)
Banyak di antara manusia yang berilusi bahwa sesuatu yang muncul dari hawa nafsunya ia anggap berasal dari akal mereka, lantaran mereka puas dengannya. Demikan pula mereka berilusi bahwa was-was (bisikan - bisikan buruk) yang dibuat syaitan (dari kalangan jin maupun manusia) dalam dirinya dan mereka puas dengannya, dia anggap dari akal mereka sendiri. Padahal pada hakikatnya mereka itu telah dihiasi oleh syaitan, sehingga memandang indah keburukan mereka dan merekapun menuruti hawa nafsu tanpa bukti (hujjah syar’iyyah) dari Rabb mereka sebagaimana firman-Nya :
أَفَمَنْ كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّهِ كَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ
“Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Tuhannya sama dengan orang yang syaitan menjadikan dia memandang baik perbuatannya dan mengikuti hawa nafsunya”. (QS. Muhammad 14)
Kita memohon kepada Allah Swt agar Dia melindungi kita dari buruknya hawa nafsu dan bisikan-bisikan syaitan. Juga kita memohon agar Dia menjadikan kita termasuk orang-orang yang berakal yang mendapat petunjuk ke jalan-Nya yang lurus (ash shiroth al mustaqiim), Aamin!
Sumber : Suara Islam