Bencana sebagai penebus dosa

Di antara kita ada yang mengeluh, kenapa orang-orang beriman kini banyak mendapatkan musibah dan cobaan, sementara orang-orang kafir justru hidupnya relatif bahagia dengan berbagai kecukupan. Hal yang sama sebenarnya pernah juga dikeluhkan oleh Rasulullah kepada Rabb-nya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah pernah berdialog langsung dengan Allah mengenai hal ini.

Diantara kita ada yang mengeluh kenapa orang-orang yang beriman kini banyak mendapatkan musibah dan cobaan, sementara orang-orang kafir justru hidupnya relative bahagia dengan berbagai kecukupan. Hal yang sama sebenarnya pernah juga dikeluhkan oleh Rasulullah kepada Rabb-nya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibu Abbas bahwa Rasulullah pernah berdialog langsung dengan Allah mengenai hal ini.

Pinta Rasul, “Wahai Rabb, hamba-Mu yang mukmin, yang taat kepada-Mu dan menjauhi maksiat kepada-Mu, Engkau jauhkan dunia daripadanya, semenatara bala bencana Engkau hadapkan kepadanya. Adapun hamba-Mu yang kafir yang tidak taat kepada=Mu serta berbuat maksiat kepada-Mu, justru Engkau jauhkan dari bala bencana dan Engkau longgarkan (kehidupan) dunianya”


Firman Allah, "Hamba-hamba itu milik-Ku, dan bala bencana itu milik-Ku juga. Masing-masing berjalan menurut puji-Ku. Hamba mukmin yang menjalani dosa dan Aku hadapkan bala bencana kepadanya, hal itu sebagai penebus dosanya. Ketika ia menemui-Ku, akan Aku balas kebaikannya. Sedangkan orang kafir yang menjalani kebaikan, maka Aku murahkan rizkinya dan Aku jauhkan dia dari bala bencana. Aku balas kontan kebaikannya sewaktu di dunia sampai dia menemui Aku dan barulah Aku balas kejahatannya."

Dialog ini setidak-tidaknya telah mewakili aspirasi kita di hadapan Allah swt. Sering kali kita protes --kadang dalam hati, tapi tak sedikit juga keluar dalam bentuk pernyataan-- bahwa Tuhan kurang adil. Kita merasa sudah menjalankan perintah-Nya, sudah berusaha keras meninggalkan larangan-Nya, tapi kemiskinan dan berbagai bencana lain masih juga belum mau menyingkir dari kehidupan kita. Sementara orang lain yang tak pernah shalat, apalagi mengeluarkan zakat, kehidupannya berlimpah rezeki, bergelimang harta.

Akan tetapi setelah mendapatkan jawaban yang logis dari Allah, sebagaimana dalam dialog di atas, sakit hati kita sedikit terobati. Disebut sedikit terobati, sebab selebihnya kita tetap menuntut seperti mereka, mendapatkan limpahan rezeki dan tambahan harta.

Adalah wajar jika kita menuntut hal seperti itu, sebab Allah sendiri mengajari kita untuk berdoa, meminta kepada Allah agar diberi keselamatan di di dunia dan kebahagiaan hidup di akherat. Semua mukmin tidak lupa membaca doa ini, terutama setelah selesai menjalankan ibadah shalat.
Akan tetapi kita mesti menyadari bahwa hidup ini tidak hanya di sini. Untuk kehidupan yang jauh tersebut kita memerlukan bekal yang cukup. Ibarat pengusaha, kita memerlukan investasi jangka panjang.

Seorang mukmin tidak seperti penjual kacang goreng. Sekali goreng, jual, kemudian dapat untung. Besok goreng lagi, jual lagi, dan untung lagi. Keuntungan yang kontan ini biasanya nilainya kecil. Beda dengan mereka yang menanam investasi jangka panjang, sekali masa panen, selamanya menjadi kaya raya.

Dalam hal ini perniagaan yang dilakukan seorang mukmin adalah perniagaan dengan Allah. Berniaga dengan Allah tentu tak mengenal rugi. Pasti untung, dan keuntungannya tak tanggung-tanggung. Allah berfirman:
"Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak." (QS. Al-Hadiid: 11)

Tentang bagaimana cara kita berniaga dengan Allah swt, al-Qur'an menjawabnya,
"Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab yang pedih? (yaitu) Kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan memasukkan kamu ke tempat tinggal yang baik di dalam surga 'Adn. Itulah keberuntungan yang besar." (QS Ash-Shaaf: 10-12)

Orang mukmin orientasi berfikirnya selalu jauh ke depan. Namun demikian bukan berarti bahwa untuk hari ini tidak difikirkan. Ibarat petani, ia menanam tanaman yang berjangka panjang, tapi untuk kebutuhan sehari-harinya, di sela-sela tanaman besar ia tanam juga biji-bijian. Dengan begitu, hari ini ia bisa hidup, untuk hari depannya ia bisa panen besar. Itulah yang dipesankan Allah dalam sebuah firman-Nya:
"Dan carilah bekal hidup untuk akhiratmu, tapi jangan lupakan bagianmu di dunia." (QS al-Qashash: 77)

Allah Maha Pemurah akan memberikan apa saja yang dikehendaki manusia sesuai dengan kehendaknya. Bila manusia berbuat sesuatu dan ia menginginkan balasan seketika itu, maka Allah akan memberikannya. Sebaliknya jika ia berbuat sesuatu namun ia mengharapkan pahala di akhirat, maka Allah akan membalasnya sesuai dengan permintaanya.

Jika seorang beribadah yang seharusnya untuk tujuan akhirat, tapi ia niatkan untuk dunia, maka Allah memberikannya di dunia, berupa penghormatan atau nama baik di dunia. Tapi untuk akhirat tentu saja sudah tidak ada lagi bagiannya. Demikian juga jika manusia menolong sesamanya, sementara dia tidak mengharap apapun dari rekannya tersebut, kecuali balasan dari Allah swt, maka Allah akan memberi balasan surga baginya.

Tentang bala bencana, kepada orang-orang yang beriman biasanya Allah swt membalasnya dengan sesegera mungkin. Hal ini dimaksudkan untuk kebaikan orang tersebut. Sebaliknya kepada orang-orang kafir atau orang-orang yang dikehendaki jelek oleh Allah, maka biasanya bala bencana itu ditangguhkannya, sampai di akhirat nantinya.

Suatu hari salah seorang sahabat memandang wanita yang dikenalnya pada masa jahiliyah. Ia kemudian terlibat percakapan yang panjang dengan wanita tersebut sampai pada akhirnya wanita itu berlalu darinya. Sambil berjalan sahabat tersebut tetap memalingkan pandangannya kepada wanita tersebut, sehingga tanpa sadar ia membentur dinding sampai bengkak mukanya. Kejadian ini dilaporkan kepada Rasulullah. Menanggapi kasus ini Rasulullah bersabda,
"Jika Allah menghendaki kebaikan terhadap hamba-Nya, maka disegerakanlah balasan (atas dosanya) di dunia. Apabila Allah menghendaki keburukan kepada hamba-Nya, maka Ia biarkan hamba tersebut dengan dosanya sehingga akan dilengkapkan pembalasannya pada hari kiamat." (HR Tirmidzi dan Hakim)

Bagi orang mukmin sakit itu bisa merupakan rahmat dari Allah swt. Banyak di antara dosa-dosa tertentu yang hanya bisa rontok setelah seseorang mengalami sakit. Jadi sakit bagi orang yang beriman berfungsi merontokkan dosa. Tentu saja jika sakitnya diterima dengan lapang dada, kemudian dipakai untuk merenungkan berbagai amalan yang pernah dikerjakannya. Pada saat seperti itu ia bertaubat dan minta ampunan kepada Allah swt. Sakit yang demikian justru sangat bermanfaat.

Konon, Fir'aun menjadi sangat sombong karena ia tak pernah sakit sepanjang hidupnya. Ia baru mengalami rasa sakit pada saat menjelang ajalnya, yaitu ketika ia terombang-ambing oleh ombak lautan yang kemudian menenggelamkannya. Merasa tidak pernah diberi cobaan oleh Allah, maka sikapnya menjadi sombong, sampai-sampai seluruh rakyatnya harus menyembah kepadanya. Ia mengaku sebagai Tuhan.

Oleh itu, ketika bencana datang, sikap kita adalah mengembalikan semua urusan kepada Allah. Kita ucapkan satu kalimat pendek: Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun, sesungguhnya semua urusan itu bagi Allah, dan sesungguhnya kepada-Nya semua akan kembali.

Bersamaan dengan ucapan itu hendaknya ada perasaan menerima kenyataan yang ada, kemudian pelan-pelan mencari hikmahnya. Hikmah yang pertama barangkali melalui bencana itu Allah hendak melebur dosa-dosa kita dimasa lalu. Jika demikian halnya, tak jadi soal. Sakit di dunia ada batasnya. Jika sudah tidak kuat menahannya, paling-paling kita jatuh pingsan, tak sadarkan diri. Pada saat itu kita tidak merasakan apa-apa. Sakit di dunia juga ada batas waktunya. Jika tidak sembuh ya mati. Namun, bagaimana jika harus mengalami sakit di akhirat karena dosa-dosa kita? Beratnya tak terbatas, waktunya juga tak terhingga. Dengan demikian kita tetap bisa bersyukur kepada Allah SWT.

Hikmah kedua, mungkin saja melalui bencana itu Allah justru hendak mengangkat derajat kita. Siapa tahu kehendak Allah di balik musibah tersebut. Sebagai muslim tentu saja kita yakin atas kemurahan Allah, karena Rasulullah pernah bersabda, "Tidak ada suatu bencana yang menimpa orang mukmin walaupun hanya sepotong duri atau lebih, kecuali pastilah dengan bencana itu Allah akan mengurangi satu kesalahan (dosanya)." Dalam riwayat yang lain Rasulullah bersabda, "Pastilah Allah meninggikan derajatnya satu tingkat dan mengurangi kesalahan (dosa)-nya." (HR Muslim dari 'Aisyah)

Semoga bencana yang menimpa kita saat ini, berupa krisis ekonomi yang merembet menjadi krisis sosial dan politik ini merupakan bentuk dari pengurangan dosa-dosa kita, atau justru Allah menghendaki yang lain, yaitu meningkatkan derajat kita sebagai muslim yang bermartbat di antara bangsa-bangsa lainnya di dunia. Hal ini bisa terjadi jika kita berusaha menerima dan menggali hikmahnya.

Sumber : http://mardiunj.blogspot.com




Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel