Mahram Dalam Islam

Mahram adalah meruapakan bagian dari keluarga yang berasal dari keluarga yang tidak boleh untuk dinikahi. Inilah yang dimaksud dengan pengertian mahram dalam Islam. Sedangkan di negeri kita sendiri kita lebih sering mendengar istilah muhrim.

Perlu diluruskan bahwa muhrim dalam bahasa Arab berasal dari kata muhrimun, mimnya di-dhomah yang maknanya adalah orang yang berihram dalam pelaksaaan ibadah haji sebelum tahalul. Sedangkan mahram bahasa Arabnya berasal dari kata mahramun, mimnya di-fathah yang artinya semua orang yang haram untuk dinikahi selamanya karena sebab keturunan persususan dan pernikahan dalam syariat Islam.

Mahram berasal dari kalangan wanita, yaitu orang-orang yang haram dinikahi oleh seorang lelaki selamanya (tanpa batas). (Di sisini lain lelaki ini) boleh melakukan safar (perjalanan) bersamanya, boleh berboncengan dengannya, boleh melihat wajahnya, boleh berjabat tangan dengannya dan seterusnya dari hukum-hukum mahram. Mahram sendiri terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu :

Kelompok pertama, mahram karena keturunan
Ada tujuh golongan :
1. Ibu, nenek, dan seterusnya ke atas baik dari jalur laki-laki maupun wanita
2. Anak perempuan (putri), cucu perempuan, dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita.
3. Saudara perempuan sekandung, seayah, atau seibu
4. Saudara perempuan bapak (bibi), saudara perempuan kakek (bibi orang tua), dan seterusnya ketas baik sekandung, seayah, atau seibu.
5. Saudara perempuan ibu (bibi), saudara perempuan nenek (bibi orang tua) dan seterusnya keatas baik sekandung, seayah atau seibu
6. Putri saudara perempuan (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita
7. Putri saudara laki-laki sekandung, seayah atau seibu (keponakan), cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita

Mereka inilah yang dimaksud Allah SWT dalam firman-Nya :

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan … “ (QS. An-Nisa :23)

Kelompok kedua, juga berjumlah tujuh golongan , sama dengan mahram yang telah disebutkan pada nasab, hanya saja disini sebabnya adalah penyusuan.

Dua diantaranya telah disebutkan Allah SWT :

وَأُمَّهَاتُكُمُ الاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ

“Dan (diharamkan atas kalian) ibu-ibu kalian yang telah menyusukan kalian dan saudara-saudara perempuan kalian dari penyusuan” (QS. An-Nisa :23)

Ayat ini menunjukkan bahwa seorang wanita yang menyusui seorang anak menjadi mahram bagi anak susuannya, padahal air susu itu bukan miliknya melainkan milik suami yang telah menggaulinya sehingga memproduksi air susu. Ini menunjukkan secara tanbih bahwa suaminya menjadi mahram bagi anak susuan tersebut. Kemudian penyebutan saudara susuan secara mutlak, berarti termasuk anak kandung dari ibu susu, anak kandung dari ayah susu, serta dua anak yang disusui oleh wanita yang sama. Maka ayat ini dan hadits yang marfu’ :

يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ

“Apa yang haram karena nasab maka itupun haram arena penyusuan” (Muttafaqun ‘alaihi dari Ibu ‘Abbas)

Keduanya menunjukkan tersebarnya hubungan mahram dari pihak ibu dan ayah susu sebagaimana tersebarnya pada kerabat (nasab). Maka ibu dari ibu dan bapak (orang tua) susu misalnya adalah mahram sebagai nenek karena susuan dan seterusnya keatas sebagaimana pada nasab. Anak dari orang tua susu adalah mahram sebagaimana saudara karena susuan, kemudian cucu dari orang tua susu adalah mahram sebagai anak saudara (keponakan) karena susuan, dan seterusnya ke bawah.

Saudara dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi karena susuan, saudara ayah/ ibu dari orang tua susuan adalah mahram sebagai bibi orang tua susu dan seterusnya keatas.

Adapun dari pihak anak yang menyusu maka hubungan mahram itu terbatas itu terbatas pada jalur anak keturunannya saja. Maka seluruh anak keturunan dia berupa anak, cucu dan seterusnya ke bawah adalah mahram bagi ayah dan ibu susunya.

Hanya saja, berdasarkan pendapat yang laing kuat (rajah), yaitu pendapat jumhur dan dipilih oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikhhuna (Muqbil) rahimahumullahu bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah yang berlangsung pada masa kecil sebelum melewati usia 2 tahun, berdasarkan firman Allah SWT :

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

“Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selaam 2 tahun penuh bagi sia[a yanghendak menyempurnakan penyusuannya” (Al-Baqarah :233)

Hadist ‘Aisyah ra bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah penyusuan yang berlangsung karena rasa lapar dan hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa (no hadits 2150) bahwa tidak menghramkan suatu penyusuan kecuali yang membelah (mengisi) usus dan berlangsung sebelum penyapihan.

Dan yang diperhitungkan adalah minimal 5 kali penyusuan. Setiap penyusuan bentuknya adalah bayi menyusu sampai kenyang (puas) lalu berhenti dan tidak mau lagi untuk disusukan meskipun diselingi dengan tarikan nafas bayi atau dia mencopot puting susu sesaat lalu dihisap kembali.

Kelompok ketiga, jumlahnya empat golongan, yaitu :
1. Istri bapak (Ibu tiri), istri kakek dan seterusya keatas berdasarkan Surat An-Nisa : 23
2. Istri anak, istri cucu dan seterusnya kebawah berdasarkan Surat An-Nisa : 23
3. Ibu mertua, ibunya dan seterusnya keatas berdasarkan Surat An-Nisa : 23
4. Anak perempuan istri dari suami lain (rabibah), cucu perempuan istri baik dari keturunan rabibah maupun dari keturunan rabib dan seterusnya ke bawah berdasarkan Surat An-Nisa : 23

Nomor 1,2, dan 3 hanya menjadi mahram dengan akad yang sah meskipun belum melakukan jima’ (hubungan suami istri). Apadapun yang keempat maka dipersyaratkan bersama dengan akad yang sah dan harus terjadi jima’, dan tidak dipersyaratkan rabibah itu dalam asuhannya menurut pendapat yang paling rajah yaitu pendapat jumhur dan dipilih oleh asy-Syaikh Ibnu “Utsaimin.

Dan mereka tetap sebagai mahram meskipun terjadi perceraian atau ditinggal mati, maka istri bapak misalnya tetap sebagai mahram meskipun dicerai atau ditinggal mati, dan Rabibah tetap merupakan mahram meskipun ibunya telah meninggal atau diceraikan dan seterusnya.

Selain yang disebutkan diatas, maka bukan mahram. Jadi boleh seseorang misalnya menikahi rabibah bapaknya atau menikahi saudara perempuan dari istri bapaknya dan seterusnya.

Begitu pula saudara perempuan istri (ipar) atau bibi istri, baik karenan nasab maupun karena penyusuan maka bukan mahram, tidak boleh safar berdua dengannya, berboncengan sepeda motor dengannya, tidak boleh melihat wajahnya, berjabat tangan, dan seterusnya dari hukum-hukum mahram tidak berlaku padanya. Akan tetapi tidak boleh menikahinya selama saudaranya atau keponakannya itu masih sebagai istri hingga dicerai atau meninggal. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT :

وَأَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ

“dan (haram atasmu) mengumpulkan dua wanita bersaudara sebagai istri (secara bersama-sama)” (QS. An-Nisa : 23)

Hadits Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW melarang mengumpulkan seorang wanita dengan bibinya sebagai sitri secara bersama-sama.
Wallahu a’lam bish shawab

(Lihat tafsir Ibnu Katsir, Tafsir As-Sa’di, Syarhul Mumti, 5/168-210)

Dikutip dari Asysyariah.com offline Penulis : Al Ustadz Abu Abdillah Muhammad Sarbini, Judul: Siapa Saja Mahram itu?

mahram dalam Islam




Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel